Brexit – Kenapa UE Sedang Runtuh Tapi India “Hindu” Tetap Utuh?

Oleh: Ranbir Singh
12 Juli 2016
Sumber: Hindu Human Rights

Sejak kemerdekaannya pada 1947, banyak pihak di barat meramal India akan runtuh. Kebijakan-kebijakan pro-Pakistan dari Inggris, Prancis, AS, dan banyak lainnya serta simpati yang mereka tunjukkan pada gerakan-gerakan pemisahan diri, khususnya di Punjab, Kashmir, dan Nagaland, keyakinan bahwa India sedang menuju perang sipil akibat sistem kasta “Hindu”-nya merupakan sesuatu yang diambil serius bahkan selagi mitos persatuan Eropa menguap di depan mata mereka. Nyatanya, UE-lah yang sedang runtuh dan bukan India.

Uni Eropa-India Hindu

Bahkan di dalam berbagai negara anggota terdapat perpecahan. Cekoslovakia terpotong-potong tak lama setelah komunisme tumbang. Catalonia memiliki gerakan kemerdekaan dari Spanyol yang sangat kuat. Corsica dilanda seksesionisme agresif. Di Britania ada golongan pinggir Celtik Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara yang berharap tetap di UE, sementara Inggris ingin keluar. Kenapa India tetap bersatu di tengah segala rintangan tapi UE gagal bahkan di dalam negara-negara anggotanya sendiri?

Karma Pemisahan Diri

Menghadapi semua itu India tetap bersatu sejak 1947. Konsep Mata Bharat, konsep India sebagai dewi, sama tuanya dengan Hinduisme. Bahkan batu-batu karangnya disembah, pegunungan Himalaya bersifat keramat. Pohon-pohon keramat seperti Pipal, sungai-sungai keramat seperti Gangga, tidak ditemukan di Eropa. Di sini kesucian ada di parlemen Brussels dan Strasbourg, mata uang Euro, kewajiban dan arahan traktat tiada akhir. Eropa sudah lama melindungi teroris dan bentuk-bentuk seksesionis lebih lunak yang ingin memecah India di bawah kategori rapi dan teratur: penentuan nasib sendiri. Tapi sekarang Eropa-lah yang sedang pecah atas kemauannya sendiri.

India Hindu

Bukan berarti India melindungi kelompok-kelompok seksesionis Catalan, Corsica, Irlandia, Basque, Skotlandia, dan Wales sebagaimana UE menyanjung para teroris bekingan Pakistan yang beroperasi di Kashmir. India, seperti halnya Hinduisme, adalah konsep yang gagal dipahami pemikir Eropa, agamis ataupun sekuler. Sebab pola pikir agamis atau sekuler timbul dari etos monoteis yang menuntut keseragaman, ketunggalan, dan memandang apapun lainnya sebagai balau: serupa dengan bagaimana Yunani kuno memandang angka nol hingga menolaknya, dan kenapa nol bersama angka-angka desimal adalah impor Hindu yang lama ditentang Eropa Kristen.

Eropa gagal karena, tak seperti India, ia tak mau mengakomodasi kebhinnekaan. Kelimpahan pemikiran ini dipandang oleh Eropa sebagai tumit Achilles India. Tapi terlepas dari kemiskinan, korupsi, pemerintahan koalisi yang goyah, kerusakan lingkungan, tekanan demografi, eksploitasi, kekerasan kasta, serangan teroris, malnutrisi, dan banyak lagi, kesatuan India tetap terjaga. Padahal India jauh lebih bhinneka dan beranekaragam secara demografi dibanding UE.

Kenapa UE gagal bukan kepalang? Negara-negara UE jauh lebih maju secara ekonomi dibanding India. Terdapat undang-undang lebih luas yang melindungi buruh, orang sakit, orang cacat, tunawisma, dan orang rentan. Mobilitas sosial lebih tinggi. Manusia dan barang bergerak bebas. Kawasannya menarik untuk investasi. Tapi seluruh proyek ini sedang menjadi pertunjukan anomali selingan. Sementara India terus maju.

David Cameron

Suara Brexit memenangkan referendum yang diatur oleh Perdana Menteri David Cameron untuk memutuskan apakah Inggris harus tetap bagian dari UE yang kian terintegrasi. Cita-cita inti Eropa telah bergeser dari uni ekonomi untuk mendirikan zona perdagangan bebas menjadi super negara federal. Peringatan buruk dikeluarkan di kedua kubu soal bertahan di UE atau keluar dari UE. Ternyata suara Keluar menang dengan selisih kecil. Tapi kemudian banyak dari pemberi suara Brexit mengakui terus-terang bahwa mereka tidak tahu fakta-fakta lengkapnya.

Pada waktu penulisan artikel ini, peringkat kredit Inggris telah turun, terdapat peringatan resesi, dan bank-bank mengancam pindah operasi, dengan demikian membuat Kota London kehilangan statusnya sebagai pusat keuangan utama. Di sisi lain, legiun Brexit berargumen zona Euro tidak stabil dan menunjuk pengangguran masal di Prancis, Spanyol, dan Italia, dan terutama Yunani di mana negara nyaris runtuh.

Ke Mana Nasionalisme?

UKIP dituduh berpandangan xenofobia, rasisme, nasionalisme sayap kanan, dan bahkan fasisme dengan memimpin kampanye keluar dari UE. Para pekerja Polandia yang menekan upah, para Gipsi Rumania yang datang sebagai pengemis tunjangan, Turki yang ikut pergerakan bebas manusia di UE, dan infiltrasi jihadis di antara para pengungsi Suriah merupakan faktor-faktor penting dalam kampanye Keluar.

Pemimpin UKIP, Nigel Farage berpose saat peluncuran poster referendum Uni Eropa di London, 16 Juni 2016. (Reuters/Stefan Wermuth)
Pemimpin UKIP, Nigel Farage berpose saat peluncuran poster referendum Uni Eropa di London, 16 Juni 2016. (Reuters/Stefan Wermuth)

Kendati dipimpin oleh UKIP dan anggota parlemen konservatif euroskeptis semisal Boris Johnson, Michael Gove, dan Priti Patel, dukungan untuk kampanye Keluar datang dari para pendukung tradisional Buruh di Inggris utara yang cemas dengan imigrasi masal dari negara-negara anggota miskin di Eropa Timur.

Para pendukung Brexit menunjukkan bahwa anggota-anggota UE lain justru membuat Britania terpapar fasisme yang dituduhkan kepada partai-partai semisal UKIP, serta kampanye Keluar secara umum. Mari kita lihat fakta-fakta telanjang. UKIP bukan partai seperti Golden Dawn (Yunani), Front National (Prancis), Deutsche Alternative (Jerman), dan Jobbik (Hongaria) yang mempunyai pengaruh akar Nazi sangat jelas, dan UKIP memegang kekuasaan lebih besar daripada kelompok-kelompok sejenis di Inggris, misalnya BNP (British National Party).

Tanah Air

Terlepas dari euroskeptisisme Kanan Jauh, sebetulnya itu didukung oleh upaya kebangkitan fasis setelah Nazisme dikalahkan. Menyusul pembebasannya dari hukuman penjara era perang, Oswald Mosley menulis The Alternative pada 1947 yang memandang Eropa sebagai satu supernegara besar. Kebijakan tersebut dipresentasikan kepada pemegang hak pilih pada Oktober 1948 saat Mosley menyerukan pemilu untuk sebuah Majelis Eropa sebagai langkah pertama menuju visinya.

Oswald Mosley

Dia berpendapat pertalian rasial antara bangsa-bangsa Jermanik Eropa, yang didefinisikannya sebagai orang Jerman, Britania, Skandinavia, dan Prancis, akan menjadi dasar persatuan, seraya menyatakan kekagumannya pada sumbangsih bangsa-bangsa Latin bagi sejarah budaya Eropa.

Dia menentang PBB, menyebutnya bagian dari plot Yahudi untuk mengikis nasionalisme. Eropa sebagai Bangsa bakal mengusir seluruh populasi Yahudi—dalam preseden seram untuk cuitan keji Naz Shah, anggota parlemen dari Partai Buruh, puluhan tahun kemudian. Afrika akan dieksploitasi di bawah sistem apartheid yang diperluas, oleh sebuah blok Eropa yang terjepit di antara rival-rivalnya: AS dan Uni Soviet. Ekonomi bakal ditentukan oleh “Sosialisme Eropa”. Tapi Mosley hanya menyeru kepada para pembimbing rohaninya. Mussolini, bapak fasisme, berkata di tahun 1933:

“Eropa mungkin akan sekali lagi menggenggam kemudi peradaban dunia jika ia dapat mengembangkan sedikit kesatuan politik.”

Pada 1963, Hitler berkata di depan Reichstag: “Sangat tidak cerdas membayangkan di dalam rumah sesumpek Eropa, sebuah komunitas bangsa-bangsa dapat mempertahankan sistem hukum berbeda-beda dan konsep hukum berbeda-beda untuk jangka waktu panjang.” Pada 1941, Walter Funk, menteri ekonomi Hitler, meluncurkan Europaische Wirtschafts Gemeinschaft (European Economic Community—ECC) untuk membentuk mata uang tunggal Eropa.

Rencana Hitler adalah mengintegrasikan ekonomi Eropa ke dalam pasar tunggal. Pada 1945, masterplan milik Hitler (yang direbut oleh Sekutu) mencakup sebuah skema untuk menciptakan integrasi ekonomi Eropa dan mendirikan Uni Eropa atas dasar federal.

Rencana Nazi untuk Eropa federal didasarkan pada keyakinan Lenin bahwa: “Federasi adalah bentuk transisi menuju uni utuh semua bangsa.” Dalam novel bergenre alternate history, Fatherland (1992), yang kemudian diadaptasi ke dalam film, Robert Harris menulis bahwa usai meraih kemenangan di Eropa, Jerman merombak Eropa.

Menyusul penandatanganan Traktat Roma, Eropa Barat dan Skandinavia terkepung ke dalam blok dagang pro-Jerman, European Community. Bangsa-bangsa EC-nya Tanah Air [Jerman], meski secara nama merdeka di bawah pemerintahan dan pemimpin masing-masing, hanya memadai untuk menjaga ketertiban wilayahnya sendiri. Bangsa-bangsa Eropa terus berada di bawah pengawasan Berlin dan menjadi bawahan Berlin dalam segala hal kecuali nama—dilambangkan dengan berkibarnya bendera Jerman (swastika) di atas markas pusat Uni dengan ukuran dua kali lebih besar daripada bendera bangsa-bangsa lain.

Reich Eropa?

Boris Johnson, sobat kental David Cameron di Eton, anggota parlemen konservatif, dan pengkampanye utama Brexit, diserang lantaran membuat pembandingan serupa, dan bahwa UE sebetulnya adalah impian Hitler. Tapi itu tidak sepenuhnya keliru. Ini terlepas dari xenofobia dan bahkan rasisme yang hadir dalam partai-partai euroskeptis seperti UKIP dan pihak Partai Konservatif, kaum Gaullist Prancis, dan lain-lain—bahkan anti-Semitisme dan Hindufobia merupakan bagian dari seluk-beluk Partai Buruh-nya Jeremy Corbyn. Unsur-unsur gelap ini lebih kentara lagi dalam Front National, British National Party, serta Golden Dawn dan Jobbik yang terang-terangan mengaku Nazi.

Boris Johnson

Jobbik Hongaria melambangkan sebuah unsur kotor, dalam arti bahwa bekas negara-negara Eropa Timur dibolehkan masuk walau rasisme dan anti-Semitisme memenuhi masyarakat dan organ negara mereka dalam gaya yang tak terbayangkan oleh kaum euroskeptis paling keras di Britania. Salah satu alasan kenapa orang-orang Romawi berduyun-duyun pergi ke Britania adalah karena di Rumania, contohnya, setelah baru terbebas dari 600 tahun perbudakan pada 1867 dan kemudian menjadi sasaran genosida oleh pemerintahan Rumania pro-Nazi era perang, mereka memikul kemiskinan hebat, kebencian, dan serangan fisik sebagai bagian dari kehidupan normal. Di sini, rasisme dan apartheid tidak menimpa keanggotaan Rumania dalam UE yang diduga demokratis. Aksi-aksi kelompok neo-Nazi Right Sector dan Azov Legion di Ukraina juga tidak menghalangi dukungan UE untuk unsur-unsur fasis dalam gerakan “kebebasan” negara tersebut selagi ia terjun ke dalam konflik sipil.

Abu Armenia

Tapi kekhawatiran besar adalah Turki. Dikaitkan dengan rasisme Eropa sekuler terdekristenkan terhadap negara mayoritas Muslim, fakta tak enaknya adalah bahwa itu membuat diskriminasi terhadap orang-orang Romawi oleh bekas negara-negara Poros dan Pakta Warsawa di Eropa Timur terasa nyaris ringan. Sampai abad 21, sekadar berbahasa Kurdi adalah sebuah kejahatan. Kurdi, sederhananya, tidak eksis. Bahkan sekarang pemerintahan Islamis baru Erdogan memberangus setiap pembangkangan Kurdi dengan brutal. Tapi Turki menyandera UE dengan dukungannya pada ISIS (yang juga dibekingi oleh negara-negara demokrasi barat pada satu titik), penolakan untuk bekerjasama dalam urusan arus pengungsi dari Suriah, dan terutama ancaman segala macam konsekuensi apabila negara-negara Eropa berani menyebut pembasmian orang-orang Armenia pada 1915 sebagai “genosida”.

Anggota Hamas berdiri di depan spanduk Erdogan

Hitler dikenal pernah berucap pada 1939 bahwa tak seorangpun mengingat pemusnahan orang-orang Armenia oleh Kekaisaran Utsmani—sebagaimana tak seorangpun mengingat impian Hitler untuk menciptakan European Community.

Penentangan terhadap Turki dikaitkan dengan Islamofobia bangsa-bangsa Eropa, dan kekhawatiran bahwa kebebasan bergerak akan menyebabkan migrasi masal orang Turki ke seluruh Eropa. Sejak 1960-an, ribuan orang Turki memang meninggalkan desa-desa miskin mereka untuk datang sebagai gastarbeiter (pekerja asing) guna membantu membangun kembali Jerman Barat pasca perang—begitu pula orang Kuba, Angola, dan Vietnam untuk Timur komunis). Namun ada kecemasan lebih besar bahwa para pemimpin UE terus ditawan oleh sebuah pemerintahan tak demokratis [Turki] yang bukan saja menindas sepertiga rakyatnya karena bukan ras unggul, tapi juga membekingi kelompok-kelompok teroris dan terutama menyangkal pembantaian yang mengilhami Hitler.

Seperti halnya Eropa Timur, kualifikasi demokrasi yang diterima begitu saja oleh para anggota pendiri UE dan dipakai untuk membangun kembali sebuah benua yang hancur oleh perang dan sebagai benteng melawan Nazisme, terbukti sangat berguna dalam membantu rumput-rumput liar beracun itu menemukan tanah subur.

Negara Sebagai Tuhan

Pada 15 Mei 2016, Telegraph memberitakan Boris Johnson, mantan walikota London dan cendekiawan klasik yang giat, berargumen bahwa 2.000 tahun sejarah Eropa dicirikan oleh upaya berulangkali untuk menyatukan Eropa di bawah pemerintahan tunggal dalam rangka mengembalikan “zaman emas” benua tersebut di bawah Romawi.

“Napoleon, Hitler, bermacam-macam orang mencoba ini, dan berakhir tragis,” dan “UE adalah upaya untuk melakukan ini dengan metode berbeda.”

Kekaisaran Romawi

Dikecam luas, dia mungkin lebih akurat daripada yang disadarinya. Kekaisaran Romawi melakukan penyembahan kaisar. Caesar adalah dewa dan otoritas sekuler tunggal. Tapi tidak perlu lompatan keyakinan yang imajinatif untuk menjadikan Caesar otoritas ilahi tunggal.

Betul, Konstantin menjadi tangan tuhan Kristen alih-alih sebagai dewa itu sendiri. Tapi dewa adalah konsep, gagasan, jelmaan fisik pencipta kosmik yang muncul dari masyarakat-masyarakat pagan kompleks yang dikuasai Romawi. Negara Romawi merangkak ke arah monoteisme. Di berbagai waktu, ini terlihat pada Sol Invictus, penyembahan Matahari, atau lebih nyata pada pemujaan-pemujaan “timur” semisal Isis dan Mithras. Kristen mengisi ini tapi fondasi monoteis telah diletakkan dengan otoritas tunggal pemujaan kerajaan.

Kristen menjadi dasar apa yang sekarang kita sebut Eropa dan lebih eksplisitnya “Barat”. Sebelum Reformasi, “Kristendom” efektifnya adalah seluruh Eropa. Hubungan antara Katolik barat dan Ortodoks timur kadang bersifat saling bunuh sesama saudara, tapi Pasukan Salib tetap dikirim untuk mempertahankan Ortodoks Timur Bizantium dari Islam. Ini adalah momok yang sering diangkat oleh Turki untuk bertanya kenapa ia selalu dikecualikan. Seiring Eropa menjadi sekuler, tuhan dan gereja digantikan oleh negara.

Sejak masa Revolusi Prancis, negara didewakan. Di Prancis, gereja dipukul mundur. Tapi dalam berbuat demikian, cita-cita sekuler dan otoritas negara menjadi agama baru. Intervensi negara selalu menjadi cita-cita kontinental, melintasi spektrum politik. Ini berbenturan dengan ide-ide pasar bebas liberal yang turut mengindustrialisasi Britania dan dipandang oleh lembaga think tank seperti Adam Smith Institute dan sebagian besar Partai Konservatif dan New Labour sebagai terjalin mutlak. Kita punya pasar bebas dan sistem hukum adat di bawah monarki yang menegakkan dan mempertahankan gereja mapan—berbenturan dengan sistem kontinental yang lahir dari revolusi dan huru-hara—dan yang menekankan sekulerisme, hukum dan undang-undang hasil kodifikasi, dan intervensi negara dalam ekonomi.

Ketika referendum datang, banyak orang memberikan suara untuk tetap bertahan di UE karena konon “Iblis” yang kita kenal lebih baik daripada ketidakpastian. Lagi-lagi akurat. Keseluruhan pertempuran, dalam banyak hal, adalah pertempuran memperebutkan jiwa.

Adrian Hilton

Mungkin lebih baik kotak suara dibanding ladang-ladang bermandikan darah. Tapi bukankah ini cuma ulangan Reformasi dan Kontra Reformasi, Perang Tiga Puluh Tahun, dan Pertempuran Boyne di mana Protestantisme muda menghadapi keperkasaan Gereja Katolik? Pada pemilu 2005, Adrian Hilton dicoret sebagai kandidat Konservatif untuk kota Slough gara-gara berkata:

“…UE yang Katolik tak ayal lagi akan mengakibatkan tunduknya etos Protestan Britania pada ajaran sosial, politik, dan keagamaan Katolik Roma.”

Hilton adalah veteran politik euroskeptis, pernah menulis polemik perkembangan UE berjudul The Principality and Power of Europe. Komentar-komentarnya menimbulkan reaksi negatif dari Kardinal Cormac Murphy-O’Connor, pemimpin Gereja Katolik di Inggris dan Wales. Meski begitu, Gereja Inggris sejak awal mempunyai raja sebagai kepalanya.

Sementara itu, benua Eropa sebagian besar mengakhiri kekuasaan gereja-gereja negara, khususnya di Prancis dengan sekulerisasi agresif yang dikenal sebagai laisisme. Tapi sekulerisme ini pun, yang lahir dari pembantaian Perang Tiga Puluh Tahun, menuntut negara disembah sebagai tuhan, karena tuhan ini pada intinya bukan entitas supranatural. Ia adalah gagasan, dan sebagai monoteistis, tidak mengizinkan tandingan. Karenanya, sebagai pewaris negara sebagai tuhan, elit UE tidak mengizinkan tandingan.

Pada 11 Juni 2016, Peter Jones menulis Mengapa Kekaisaran Romawi Berhasil—dan Kekaisaran UE Tidak:

“Itu diawali dengan penundukan Roma atas Italia sedikit demi sedikit, tuntas pada abad ke-3 SM. Orang-orang Romawi belajar bahwa perjanjian hukum dan persekutuan, yang melibatkan perdagangan, perkawinan antar kelompok, kewarganegaraan, dan perbagian tenaga kerja militer, dapat mengubah lawan menjadi kawan.”

Selanjutnya:

“Andai saja UE berjalan dengan cara serupa, meraba jalannya, selangkah demi selangkah, tanpa masterplan revolusioner ‘kami paling tahu’ untuk mata uang tunggal, untuk Eropa Serikat dan legislasi terperinci menyangkut ketimun, itu tidak akan menjadi kecelakaan mobil, yang darinya orang-orang di luar mobil harus memungut serpihan.”

Pada 14 Mei 2016, Telegraph mewawancarai Boris Johnson perihal kampanye Keluar:

“Semua ini dimulai dengan Kekaisaran Romawi. Saya menulis buku tentang persoalan ini, dan saya kira itu benar. Kenyataannya, sejarah dua ribu tahun terakhir adalah upaya berulangkali oleh berbagai orang atau lembaga—dalam gaya Freud—untuk menemukan kembali masa kecil Eropa yang hilang, zaman emas kedamaian dan kemakmuran di bawah Romawi, dengan mencoba menyatukannya. Napoleon, Hitler, bermacam-macam orang mencoba ini, dan berakhir tragis.”

Boris Johnson - The Dream of Rome

Dalam buku tersebut, The Dream of Rome, Johnson menyerukan Konsili Nicea baru antara “Agama-agama Musa”, menurut istilahnya, guna menghentikan demonisasi Muslim dan memperkenankan Turki, Maghrib, dan UE hidup berdampingan sekali lagi, dengan Mediterania sebagai Mare Nostrum (Laut Kita) sebagaimana Romawi menyebutnya dahulu. Dia mengingatkan kita bahwa Turki modern dulunya merupakan jantung Kekaisaran Romawi, dan bukan Islam yang memperkenalkan monoteisme agresif:

“Dari mana itu datang, ide agama sebagai kendaraan untuk kemenangan militer? Dari permulaan Romawi Kristen, dari sejak tahun 312 ketika Konstantin melihat salib di awan di atas Jembatan Milvian dan tanda yang berbunyi, ‘Dalam tanda ini kau menaklukkan.’ Menaklukkan. Dengan salib.”

Kini penaklukan dilakukan dengan instruksi dan supernegara yang semakin tersentralisasi. Terlepas dari hibah UE untuk menghadang rasisme dan xenofobia, dan membantu kelompok-kelompok minoritas, nyatanya negara monoteistis sebagai tuhan tidak akan memandang baik kebhinnekaan. Apalagi jika mereka berbau akar pagan asli Eropa.

Kesatuan Politeisme

Monoteisme tidak timbul dari nol. Ia merupakan buah berbagai faktor, terutama kecenderungan dalam kerajaan Romawi menuju fokus tunggal. Penyembahan kaisar adalah sarana menuntut kesetiaan dari berbagai komponennya. Di seantero kekaisaran, kita bisa temukan salinan hampir persis dari yang asli: ampiteater, forum, kultus penyembahan kaisar. Yang Konstantin lakukan hanya menjadi wakil sesembahan, seraya memaksakan kultus baru kerajaan pada warganya. Ini justru meningkatkan seksesionisme seiring bid’ah dan faksi-faksi bermunculan dalam agama Kristen yang kali ini dominan.

Lukisan dewa Hindu

Tanpa dogma ketat semacam itu, Hinduisme menjaga ide India keramat melewati berbagai perang, negara, dan kekaisaran selama ribuan tahun. Persatuan spiritualnya dan aliran-aliran filsafatnya terbukti jauh lebih ampuh dan tahan daripada cap politik apapun. Dengan sekte-sekte dan jalan-jalannya yang berlainan, peradaban barat yang berakar monoteis memandang ini sebagai kelemahan dan kelembekan. Kenyataannya ini lebih lestari dan lenting daripada program monoteistis manapun.

Termasuk proyek mutakhir UE yang merupakan pewaris kekaisaran Romawi dan negara-negara suksesornya di abad pertengahan seperti Kekaisaran Habsburg (juga disebut Kekaisaran Roma Suci), lebih dari yang mereka akui atau bahkan sadari. Fondasi monoteis pedoman UE dan birokrasi tersentralisir-lah yang menyebabkan Brexit. Pertempuran modern memperebutkan jiwa Eropa inilah, di mana monoteisme modernis UE menginjak sisa-sisa pagan pribumi Eropa, yang menjadi alasan kenapa Brussels dan Strasbourg gagal memahami Brexit.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.