Di Bawah Presiden Trump, Kita Akan Memasuki Abad Konfrontasi Global

Oleh: Timothy Garton Ash
Sabtu 21 Januari 2017
Sumber: www.theguardian.com

Gertakan narsistik berhadapan dengan para pemimpin nasionalis yang sama bahayanya. Bersiaplah menyongsong bentrokan langsung dengan China.

Sebuah koran China memberitakan kemenangan pemilu Donald Trump. Menteri luar negeri baru Rex Tillerson telah membuat pernyataan bodoh tentang China. Foto: Andy Wong/AP
Sebuah koran China memberitakan kemenangan pemilu Donald Trump. Menteri luar negeri baru Rex Tillerson telah membuat pernyataan bodoh tentang China. Foto: Andy Wong/AP

Kedatangan Donald Trump di Gedung Putih mencerminkan fenomena lebih luas: era baru nasionalisme. Dia bergabung dengan Vladimir Putin dari Rusia, Narendra Modi dari India, Xi Jinping dari China, Recep Tayyip Erdoğan dari Turki dan banyak pemimpin nasionalis lain di seluruh dunia.

Kendati tidak wajar melukiskan Theresa May sebagai nasionalis, pengumumannya bahwa dia akan mengejar [kebijakan] Brexit keras mencerminkan tekanan nasionalisme Inggris terhadap kaum kanan Inggris, dan akan mendorong nasionalisme yang lain. Tentu saja, era nasionalisme bukan barang baru. Tapi justru karena kita pernah mengalaminya, kita tahu itu sering berawal dengan harapan tinggi dan berakhir dengan air mata.

Untuk saat ini, para nasionalis sedang saling mengacungkan jempol Trumpian lintas lautan. Paul Nuttall, pemimpin Ukip, mengaku “sangat bergairah” oleh kemunculan Presiden Trump, yang pernah berkata kepada Michael Gove di Times bahwa Brexit “akan terbukti bagus”. Dalam sebuah foto yang seharusnya heboh, sebagai pendukung Brexit, Gove memberi Trump acungan jempol penjilat, dengan ekspresi dungu di wajahnya, menjadikannya terlihat seperti remaja penggemar Star Trek yang mencuri momen 10 detik dengan Patrick Stewart. Wakil presiden Front National Prancis menanggapi pidato Brexit Theresa May dengan menyatakan: “Kemerdekaan Prancis segera [menyusul].” Dan begitulah seterusnya.

Dunia nasionalisme yang saling memperkuat ini juga merupakan dunia di mana kekuatan relatif maupun kepaduan internal barat sedang dikikis dari kedua sisi Atlantik. Efek jera dari jaminan keamanan NATO AS untuk Eropa sedang diruntuhkan dari Washington sendiri.

Sementara itu, kita mendapat tontonan mengagumkan: para pemimpin Rusia, Turki, dan Iran berkumpul membuat kesepakatan sinis terkait Suriah. Para komentator Turki pendukung Erdoğan bersukaria dengan fakta bahwa AS atau Eropa tidak ada di meja [perundingan].

Melihat foto ketiga pemimpin sedang berjabat tangan, saya teringat pada kartun tenar karya David Low di mana Hitler dan Stalin saling mengucapkan salam pada September 1939, mengangkat topi dan membungkuk hormat kepada satu sama lain di atas mayat seorang prajurit. Hitler berkata, “Sampah masyarakat, aku yakin?” dan Stalin berkata, “Pembunuh para buruh yang berdarah-darah, aku kira?”

Sudah pasti, kapanpun Anda menyebutkan nama Hitler, seketika itu juga ada resiko pembesar-besaran. Struktur interdependensi dan tatanan internasional liberal saat ini jauh lebih kental daripada dulu, tahun 1930-an. Itulah kenapa nasionalis Leninis Xi Jinping berpidato di Davos sebagai pembela ekonomi internasional terbuka dan terglobalisasi. Dia tahu, kinerja ekonomi negaranya sendiri, dan karenanya stabilitas rezimnya, bergantung pada hal tersebut.

Cara wakil negara-negara ini berbicara tentang hubungan internasional lebih mengingatkan kita pada dunia abad 19 di mana negara-negara besar berdaulat mengejar kepentingan nasionalnya sendiri. Saya sedang menulis kolom ini di India, dan menemukan beberapa komentar terbaru dari menteri luar negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, yang mengilustraikan ini dengan sempurna. Dihadapkan dengan kemungkinan Amerika-nya Trump bermesraan dengan Rusia-nya Putin, dia meninjau: “Dengan Rusia, hubungan India telah tumbuh sangat signifikan dalam dua tahun terakhir, begitupun ikatan antara pemimpin-pemimpin kami. Perbaikan hubungan AS-Rusia, oleh karenanya, tidak bertentangan dengan kepentingan India.” Itu jenis nasionalisme yang waras dan realpolitik.

Tapi berdasarkan sifatnya sendiri, nasionalisme-nasionalisme kemungkinan besar akan bentrok cepat atau lambat. Jadi kekukuhan May bahwa Inggris akan keluar dari pasar tunggal Eropa menempatkannya di jalur tabrakan dengan nasionalis Skotlandia, yang punya amanah referendum untuk menyatakan Skotlandia ingin tetap di UE—dan tentunya di pasar tunggal. Lebih dari itu, nasionalisme abad 21 eksis dalam ekosistem bertekanan tinggi: liputan media 24/7 dan pantauan khalayak, yang dapat membuat ngeri Bismarck, Disraeli, dan tsar Rusia. Bahkan para penguasa otoriter semisal Putin dan Xi Jinping sedang kerepotan.

Sejauh ini bentrok potensial paling serius adalah antara China dan AS. Dalam sidang penetapannya, menteri luar negeri baru Rex Tillerson menyamakan program pembuatan pulau oleh China di Laut China Selatan dengan pencaplokan Crimea oleh Rusia, dan menyebut bahwa pemerintahan barunya akan berkata kepada Beijing: “Akses kalian ke pulau-pulau itu tidak akan diberikan.”

Sementara itu, di India, komandan komando Pasifik AS, Laksamana Harry Harris, memperingatkan: “India harus konsern terhadap meningkatnya pengaruh China di kawasan. Jika kalian percaya ada pengaruh terbatas, maka pengaruh apapun yang China miliki berarti pengaruh itu tidak India miliki.” Artinya, permainan menang-kalah.

Ini, sebagian, adalah tarian familiar negara-negara besar yang berebut pengaruh dengan satu sama lain dan dan dengan pihak ketiga. Tapi resiko konfrontasi laut atau udara di suatu tempat di Laut China Selatan atau Laut China Timur jauh dari kata sepele. Maka pertanyaannya menjadi: apakah Trump dan Xi mempunyai kearifan, kenegarawanan, nasehat logis, dan, tak kalah penting, ruang gerak politik dalam negeri untuk mundur dari jurang?

Di sini karakter narsis, pemberang, dan penggertak yang dimiliki Trump bisa menjadi beban. Di sisi lain, Xi, yang jauh lebih stabil secara kepribadian, telah mempertaruhkan sebagian besar legitimasinya sebagai “pemimpin inti” negara-partai China pada “mimpi China”-nya (yakni membuat China hebat lagi), sehingga dia akan tertekan untuk tidak surut. Entah penyebabnya psikologis, politis, atau dua-duanya, orang-orang kuat sering merasa tidak boleh menampakkan kelemahan.

Tidak, saya tidak sedang meramal perang dunia ketiga. Melainkan krisis misil Kuba varian abad 21? Mungkin sama sekali. Jadi mari jangan berilusi. Di gunung ajaib di Davos, juru bicara fasih Trump, Anthony Scaramucci, mencoba meyakinkan kita bahwa semua akan baik-baik saja. Dia bilang “jalan menuju globalisme untuk dunia adalah melalui pekerja Amerika” (urai itu jika Anda bisa), dan bahwa “perubahan disruptif” oleh Trump akan menjadi “hal positif dalam hidup [kita].”

Jangan terkecoh; jangan ter-Scaramucci-kan. Kita akan menempuh perjalanan berbahaya dan kasar selama beberapa tahun ke depan, dan sebaiknya kita bersiap-siap.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.